Kekhalifahan dari masa ke masa
Oleh: Zulkifli Rahman Al Khatheeb
Kekhalifahan adalah suatu keniscayaan yang telah dijanjikan Allah. Ia
adalah suatu amanat yang Allah tawarkan kepada petala langit, bumi, dan
gunung-gunung, namun mereka enggan menerimanya, kemudian manusia
menerima dan basersedia memikul beban kekhalifahan itu.
Manusia pertama yang dijadikan Allah sebagai khalifah adalah Adam ‘Alaihissalam. Sesuai firman Allah dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30. Kemudian menyusul para nabi dan Rasul sebagai khalifah fil ‘ardl, hingga nabi Muhammad Shalallahu’alaihiwassalam,
khalifah terakhir dari kalangan para Nabi dan Rasul. Akan tetapi
kekhalifahan tidaklah berakhir dengan berakhirnya pengutusan Nabi.
Rasulullah mengisyaratkan bahwa sepeninggal beliau tidak ada lagi Nabi, namun kekhalifahan tetap berlanjut dalam bentuk “Al-Jama’ah” yang dipimpin oleh manusia biasa yang bukan Nabi, yang disebut Khalifah.
Khalifah pertama yang bukan dari kalangan Nabi dan Rasul adalah Abu Bakar As Shiddiq Radhiallahuanhu. Disusul kemudian oleh tiga Khalifah berikutnya yang disebut Khalifah Rasyidah atau Al Khulafa’ur Rasyidun, kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah di Turki yang berakhir tahun 1924 M.
Mengenali Al-Jama’ah
Sebagaimana kita maklum bahwa khilafah pada mulanya adalah berupa
sebuah jama’ah kecil. Hanya saja ketika jama’ah sudah kuat dan besar
maka tegaklah kekhalifahan secara utuh. Khalifah selanjutnya tinggal
melanjutkan dari pendahulu mereka.
Perguliran khalifah, ada yang ditentukan dengan penunjukan dari
khalifah sebelumnya seperti Umar bin Khattab t, ada pula yang dipilih
melalui musyawarah ahlul halli wal aqdi seperti Utsman Bin Affan t atau dengan kesepakatan sebagian kaum muslimin.
Namun ketika kepemimpinan kaum muslimin itu terputus, maka untuk
membangunnya kembali harus dirintis mulai dengan membentuk Jama’ah
dengan sistim kekhalifahan seperti yang dilakukan Nabi Muhammad Shalallahu’alaihiwassalam.
Tidak seperti Abu Bakar yang tinggal meneruskan kekhalifahan yang dirintis oleh Rasulullah.
Kekhalifahan adalah sebuah jama’ah, baik ketika ia masih kecil dan
lemah ataupun ketika ia sudah semakin besar dan kuat. Oleh sebab itu
Rasulullah senantiasa mewasiatkan agar kita tetap iltizam kepada Jama’ah kaum muslimin dan imamnya.
Sementara dalam kenyataan dilapangan, banyak bentuk dan model jama’ah
yang kita temukan, sehingga menuntut kita untuk memilih. Ketika dia
banyak, Rasulullah menyebutnya sebagai firqoh. Ada tujuh puluh tiga
firqoh. Beliau tidak mengatakan 72 firqoh dan 1 jama’ah, tapi 73 firqoh,
semuanya di Neraka kecuali satu. Ya, kecuali satu firqoh, itulah Al Firqotun Najiyah, yaitu yang menyerupai Beliau dan para sahabat, itulah Al-Jama’ah. Biasa juga disebut At Tho’ifah Al Manshuuroh. Inilah jamaah yang benar yang harus kita pilih.
Menentukan Sikap
Berangkat dari ayat 59 surah An Nisaa’, setiap orang beriman
diwajibkan memiliki tiga bentuk pembuktian ketaatan; yaitu taat kepada
Allah, taat kepada Rasul dan kepada Ulil Amri diantara mereka.
Allah I tentunya sudah tahu bakal ada perselisihan dalam melaksanakan
tiga ketaatan ini. Maka pada ayat selanjutnya Allah memberi batasan
agar dapat meminimalisir konflik, yaitu dengan membatasi referensi dan
rujukan.
Firman Allah; Jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu,
kembalikan kepada Allah dan RasulNya, jika kalian beriman kepada Allah
dan hari akhir, yang demikian itu lebih baik dan lebih utama takwilnya
(4:59).
Sebelum kita membicarakan lebih jauh tentang tiga ketaatan ini, maka
terlebih dahulu kita sepakati untuk hanya merujuk kepada Al Qur’an dan
As Sunnah. Jika rujukan dibiarkan meluas kepada pendapat para Ulama’,
maka bersiaplah untuk perdebatan yang tak berujung dan tak bertepi.
Akankah kita terus berselisih tentang seseorang yang akan mengimami
kita sementara azan sudah dikumandangkan dan waktu shalat sudah tiba?
Akankah kita terus berselisih tentang syarat seorang imam, sementara
kita masih berpecah belah?
Ketika Rasulullah wafat, para sahabat segera menentukan sikap, jama’ah kaum muslimin tidak boleh dibiarkan tanpa imam. Rasulullah yang tadinya sebagai pemimpin mereka kini telah wafat, tidak mungkin ber-imam kepada orang yang telah wafat meskipun Nabi.
Maka segera di bai’at Abu Bakar sebagai Khalifatu Rasulillah
(pengganti Rasulullah), meski saat pembai’atan itu terjadi masih ada
beberapa sahabat besar yang belum setuju. Bahkan tidak kurang dari tiga
ribu orang Islam kala itu tidak setuju dan tidak mau menyetorkan
zakatnya kepada Abu Bakar, sebagaimana yang biasa mereka setorkan kepada
Rasulullah.
Khalifah Abu Bakar ra. memerangi mereka…! Karena masa itu ada kekuatan dan ada kepemimpinan yang solid.
—
Ketika keutuhan jamaah kaum muslimin di zaman Imam Ali t tidak mampu
lagi dipertahankan, terjadilah dualisme kepemimpinan, Ali dan Muawiyah.
Bisa dibayangkan betapa sulit menentukan sikap kala itu. Ali t adalah
sahabat Rasulullah, Muawiyah juga sahabat dan juga pernah ikut
berperang bersama Rasulullah. Lebih berat lagi bagi mereka yang tadinya
berpihak dan fanatik kepada Ali, namun secara defacto dan de jure, kepemimpinan beralih ketangan Muawiyah setelah peristiwa tahkim. Alangkah sulitnya menentukan sikap.
Bagaimanapun, tidak ada pembenaran bagi mereka yang kala itu tidak
ada bai’at dilehernya hingga mati. Tidak ada pembenaran bagi mereka yang
mengambil sikap sebagaimana khawarij, yang tidak berbai’at kapada Ali
maupun Muawiyah.
Sejarah kemudian mencatat bahwa setelah Ali bin Abi Thalib t wafat,
maka kaum muslimin berada dalam kemelut yang semakin memuncak.
Sebahagian kaum muslimin yang fanatik kepada Imam Ali bersepakat untuk
membai’at putra beliau yaitu Hasan bin Ali. Sementara sebahagian yang
lain tetap bersikukuh pada bai’at mereka pada Muawiyah.
Mereka yang berada dipihak Muawiyah menyatakan bahwa bai’at terhadap
Hasan bin Ali adalah tidak sah, karena tidak dibenarkan membaiat
khalifah sementara sudah ada Muawiyah yang telah dibai’at terlebih
dahulu sebagai Khalifah.
Sementara mereka yang berada dipihak Ali menyatakan bahwa bai’at atas
Muawiyah juga tidak sah karena beliau dibai’at ketika masih ada
khalifah, yaitu Ali.
Hal demikian berlangsung selama lebih kurang enam bulan lamanya
hingga kaum muslimin bersepakat untuk bersatu dan hanya dipimpin oleh
seorang khalifah saja. Al Hasan bin Ali memutuskan untuk mundur demi
keutuhan jamaah dan demi kemaslahatan kaum muslimin.
Maka mulai saat itu khalifah kaum muslimin adalah Muawiyah, tahun bersejarah itu dikenal dengan nama “Aamul Jamaa’ah” (tahun menyatunya kaum Muslimin).
Periode baru dalam kekhalifahan islam pun dimulai, yaitu kepemimpinan islam yang oleh Rasulullah disebut sebagai Mulkan
(kerajaan/dinasti). Kepemimpinan berikutnya dilanjutkan oleh putranya
yaitu Yazid dan seterusnya Bani Umayyah menjadi Khalifah sebagai Mulkan ‘Aaddlon (kerajaan yang menggigit).
Meski banyak ulama’ yang memprotes dan mengutuk kekejaman beberapa
khalifah dari dinasti Muawiyah ini, namun tidak ada pembenaran untuk
membangkang atau memberontak.
Bani Umayyah memimpin hingga tahun 750 M. kemudian dilanjutkan oleh Bani Abbasiyah di Baghdad.
Ketika Bani Abbasiyyah tidak mampu lagi mempertahankan eksistensi
kekhalifahan di Baghdad, pada tahun 656 H/1258 M, maka berakhirlah masa mulkan ‘aaddlon. Allah telah mengangkat masa ini selama tiga setengah tahun.
Masa ini disebut masa kekosongan, bukan karena pada masa itu tidak
ada penguasa. Ada bangsa Tartar (Mongol) yang terkenal dengan kekuatan
bala tentaranya yang besar, demikian juga kerajaan Inggris, dan
lain-lain. Bahkan, sebagian besar wilayah kaum muslimin(termasuk Baghdad
sebagai pusat peradaban Islam saat itu) dikuasai oleh pasukan Genghis
Khan (bangsa Tartar) dari Mongol. Wilayah-wilayah Islam saat itu juga
dipaksa menggunakan Ilyasiq sebagai sumber hukum dalam mangatur
kehidupan masyarakat dibawah kekuasaan bangsa Tartar. Namun, semua
bentuk kepemimpinan itu tidak dianggap ada dalam literatur kepemimpinan
Islam. Karena memang bukan kepemimpinan Islam. Periode kepemimpinan
mereka tidak termasuk yang dinubuwatkan oleh Rasulullah r.
Setelah tiga setengah tahun Ummat Islam hidup dalam kegelapan bagai
ayam yang kehilangan induk, kondisi di Baghdad semakin hari semakin
kacau, dan semakin mustahil untuk membangun kembali puing puing
kekhalifahan disana.
Al Mustanshir Billah II, seorang putra dari bani Abbasiyah menghimpun
kesatuan ummat di Mesir. Mengambil bai’at dari kaum muslimin yang ada
disana. Mulai dari beberapa orang hingga tumbuh menjadi besar. Al
Mustanshir terus saja menggalang persatuan hingga semakin banyak kaum
muslimin yang sadar akan pentingnya membangun kembali kekhalifahan,
setidaknya, inilah yang mampu mereka lakukan saat itu agar Ummat Islam
punya Ulil Amri yang mereka taati sesuai perintah Allah dalam Qur’an
Surat An-Nisa 59.
Akhirnya jama’ah kecil ini berhasil juga menghimpun kekuatan. Tahun
660 H/1261M, tegaklah kembali Khilafah Islamiyah meski dalam kondisi
yang masih sangat lemah.
Hanya satu tahun al Mustanshir menjadi khalifah kemudian digantikan
oleh Al Haakim Biamrillah yang memimpin dengan keras dan tegas, bahkan
sangat berhati-hati hingga terkesan berlebihan. Hal ini dinilai wajar,
akibat pengalaman pahit yang pernah dialami pendahulunya yang pernah
digulingkan. Kepemimpinannya berlangsung selama 40 tahun.
Dari sini dimulailah babak baru kepemimpinan Islam yang disebut oleh Rasulullah sebagai Mulkan Jabariyan
(kerajaan yang memaksa). Sebuah kepemimpinan yang akhirnya dicatat
sejarah sebagai pelanjut Khilafah Islamiyah. Kekhalifahan ini berlanjut
hingga tahun 1517M yang ditutup oleh kepemimpinan Al Mutawakkil Alallah
III. Maka berakhirlah kekhalifahan Islam yang berpusat di Mesir.
Selanjutnya, di dataran Turkistan, seorang yang bernama Salim,
langsung menyambut estafeta kepemimpinan Islam, hingga berdirilah sebuah
kota terkenal di turki yang disebut Islam Bull, sekarang Istambul.
Inilah kekhalifahan Utsmaniyah yang merupakan pelanjut sistem yang ada
sebelumnya, hingga tahun 1342H/1924M.
Tiba pula saatnya kekhalifahan Turki Utsmani yang merupakan
kelanjutan dari Mulkan Jabariyan ini untuk diangkat Allah. Iapun
mengalami keruntuhan. Sejak saat itu ummat Islam kembali hidup tanpa
naungan seorang khalifah.
Kondisi ini berlangsung cukup lama, hingga hampir delapan puluhan
tahun ummat islam hidup tanpa naungan seorang khalifah. Yahudi dan
nasrani berhasil memporak porandakan persatuan kaum muslimin. Ketiadaan
khalifah dalam rentang waktu yang cukup lama ini membuat kaum muslimin
bingung dalam melaksanakan berbagai perintah dalam al Qur’an yang
merupakan amal jama’i.
Sejak ketiadaan khalifah, perintah taat kepada ulil amri, tidak lagi
dinisbatkan kepada khalifah. Ulil Amri sudah bukan lagi khalifah. Para
ulama mulai menafsirkan ulil amri sebagai guru mengaji mereka, yang
kepadanya mereka menyetorkan zakat mereka. Ada juga yang menafsirkan
ulil amri adalah ketua organisasi mereka, atau kepala kampung mereka,
atau raja, bahkan presiden atau perdana menteri.
Siapapun yang berkuasa, dialah yang disebut ulil amri. Alangkah besar musibah yang menimpa ummat ini.
Sebagaimana masa kekosongan sebelumnya, bukan berarti zaman ini tidak
ada penguasa. Banyak penguasa di zaman ini yang menguasai
wilayah-wilayah kaum muslimin, namun bukan dalam sistem kepemimpinan
Islam, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari literatur
kepemimpinan kaum muslimin sebagaimana yang dinubuwatkan oleh
Rasulullah.
Hingga tahun 1997 seorang hamba Allah memaklumatkan kekhalifahan di
Indonesia dan menyerukan kepada seluruh kaum muslimin sedunia untuk
segera bersatu padu menyambut dan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah
(Khilafatul Muslimin).
Tentu saja ini bukan pekerjaan yang mudah, perlu pribadi pribadi
berjiwa besar dan keberuntungan yang agung untuk berani menentukan
sikap. Beliau bernama Abdul Qadir Baraja’, seorang berketurunan Arab
dari Yaman yang lahir di Indonesia, negeri paling timur dari negeri
Islam terdahulu.
Penentangan terhadap babak baru kekhalifahan ini berkisar pada sah
atau tidaknya seorang Abdul Qadir Baraja’ untuk disebut sebagai
khalifah. Mana wilayah kekuasaannya, berapa bala tentara yang dimiliki,
apa yang dapat dilakukan khalifah untuk menolong kaum muslimin yang
teraniaya di berbagai penjuru dunia, serta sudahkah para ulama dunia
turut merestui kekhalifahan beliau.
Diantara para Ulama berpendapat bahwa kekhalifahan ini tidak sah
karena tidak memenuhi syarat dan kriteria yang layaknya harus dimiliki
oleh seorang khalifah. Kriteria dan syarat yang dimaksud diantaranya;
– Khalifah barulah dikatakan sah jika mampu menegakkan hukum syariat secara kaffah (menyeluruh),
– Punya wilayah kekuasaan,
– Punya bala tentara dan dapat mengayomi kaum muslimin secara keseluruhan.
Pertanyaannya, jika baiat terhadap seorang khalifah baru dianggap sah
apabila sudah memenuhi persyaratan dimaksud, maka siapakah yang akan
melakukan semua itu?
Jika tidak ada khalifah, tidak ada baiat, tidak ada sam’an wa tho’atan lalu dengan cara bagaimana semua persyaratan itu dapat diwujudkan….?
Istiqomah Hingga Akhir
Sesungguhnya mereka yang mengatakan Rabb kami Allah kemudian
istiqomah, niscaya turun kapada mereka para malaikat, jangan lah takut
ataupun bersedih hati, dan berilah berita gembira dengan syurga yang
telah dijanjikan. Ketika seorang muslim telah yakin dengan jalan yang
ditempuhnya, maka hendaknya tetap istiqomah hingga akhir hayat.
Semoga kita termasuk orang orang yang tulus dan jujur untuk dipilih
Allah sebagai pelaku dan pelaksana tegaknya kekhalifahan diakhir zaman
ini yang oleh Rasulullah saw disebut Khilafah ‘ala minhaajin nubuwwah. Aamiin.